Bagi muslim
yang diterima puasanya karena mampu menundukan hawa nafsu duniawi selama bulan
Ramadhan dan mengoptimalkan ibadah dengan penuh keikhlasan, maka Idul Fitri
adalah hari kemenangan sejati, dimana hari itu Allah Swt akan memberikan
penghargaan teramat istimewa yang selalu dinanti-nanti oleh siapapun, termasuk
para nabi dan orang-orang shaleh, yaitu ridha dan magfirahNya
,
sebagai ganjaran atas amal baik yang telah dilakukannya. Allah Swt juga pernah
berjanji, tak satupun kaum muslimin yang berdoa pada hari raya Idul Fitri,
kecuali akan dikabulkan. Pertanyaannya, kira-kira puasa kita diterima apa TIDAK?
Atau yang kita lakukan ini hanya ritual-simbolik, sebatas menahan lapar dan
haus, seperti yang pernah disinyalir Nabi Muhamad Saw? Jawabnya, Allahu
‘alam, kita tak tahu sejatinya. Tapi menurut para ulama, ada beberapa
indikasi, seseorang dianggap berhasil dalam menjalankan ibadah puasa ketika
kualitas kesalehan individu dan sosialnya meningkat. Ketika jiwanya makin
dipenuhi hawa keimanan. Ketika hatinya sanggup berempati dan peka atas
penderitaan dan musibah saudaranya di ujung sana. Artinya penghayatan mendalam
atas Ramadhan akan membawa efek fantastik, individu, maupun sosial. Penghayatan
dan pengamalan yang baik terhadap bulan ini akan mendorong kita untuk kembali
kepada fitrah sejati sebagai makhluk sosial, yang selain punya hak, juga punya
kewajiban, individu dan sosial. Sudahkan kita merasakannya? Itulah rahasia
kenapa selamat hari raya Idul Fitri seringkali diakhiri dengan ucapan Minal
‘Âidîn wal Faizîn (Semoga kita termasuk orang-orang yang kembali pada
fitrah sejati manusia dan mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat). Selain
sebagai doa dan harapan, ucapan ini juga bak pengingat, bahwa puncak prestasi
tertinggi bagi mereka yang menjalankan ibadah puasa paripurna, lahir dan
bathin, adalah kembali kepada fitrahnya (suci tanpa dosa).
Sejak
Idul Fitri resmi jadi hari raya nasional umat Islam, tepatnya pada tahun II H.
kita disunahkan untuk merayakannya sebagai ungkapan syukur atas kemenangan jihad
akbar melawan nafsu duniawi selama Ramadhan. Tapi Islam tak menghendaki
perayaan simbolik, bermewah-mewah. Apalagi sambil memaksakan
diri. Islam menganjurkan perayaan ini dengan kontemplasi dan tafakur tentang
perbuatan kita selama ini. Syeikh Abdul Qadir al-Jailany dalam al-Gunyah-nya
berpendapat, merayakan Idul Fitri tidak harus dengan baju baru, tapi
jadikanlah Idul fitri ajang tasyakur, refleksi diri untuk kembali mendekatkan
diri pada Alah Swt. Momen mengasah kepekaan sosial kita. Ada
pemandangan paradoks, betapa disaat kita berbahagia ini, saudara-saudara kita di tempat-tempat lain masih banyak
menangis menahan lapar. Bersyukurlah kita! Semoga kita bisa benar-benar
memahami makna Idul Fitri bagi pemenang saat bertarung menahan lapar dan dahaga
begitupun hawa nafsu di bulan Ramadhan. Sejatinya bahwa Idul Fitri juga tempat
di mana kita harus menyadari apakah Bulan Ramadhan akan menjumpai kita lagi. Wallahu
A’llam Bishawab
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas komentar anda